Day: 27 November 2014

The Journeys 3 – Windy Ariestanty dkk

Posted on Updated on

Membaca buku The Journeys sejak pertama kali terbit memang tidak membosankan. Bagaimana bisa?kita sebagai pembaca diceritakan keasyikannya berjalan-jalan ke tempat yang diinginkan apalagi bila itu merupakan pengalaman pertama penulis datang ke tempat yang dituju. Belum lagi beragamnya penulis yang menyumbangkan ceritanya ke dalam buku ini semakin berwarna,karena masing-masing diceritakan dengan gaya penulisan berbeda. Dari hal yang serius,hal-hal yang dikhawatirkan sampai gaya tulisan yang santai mengundang senyum.

The Journeys 3

 

Ada beberapa cerita yang teringat dikepala,antara lain.

Antara Singapura dan Mama. Penulis bercerita kegokilannya dan ke’katro’annya saat pertama kali menginjakkan kaki di Singapura. Tepatnya di Universal Studio atas sebuah undangan. Ia dibuat malu sendiri tapi tetap pede :))
Lalu penulis mampir berkunjung ke Batam ke tempat sang mama. Dari sini ia mendapatkan sebuah energi baru. Pencerahan agar ia tidak larut terus dalam kemalasan.

 

Valiant Ke Vatikan. Penulis yang satu ini tak ketinggalan menyemarakkan cerita. Saya suka dengan gaya tulisannya yang kadang melantur tapi membuat senyum-senyum sendiri 🙂 . Penulis kali ini mengunjungi Vatikan,ia merasa terkagum-kagum dengan segala bentuk bangunan dan interior dalam gereja. Bahkan setelah kejadian masa silam yang pernah dialaminya ,penulis turut hanyut dalam doa dan melantunkan permohonannya sendiri.

Aku ternyata begitu merindukan kebersamaan atas nama manusia,tanpa kecurigaan,persangkaan atau letup amarah. Cukup atas nama manusia saja,bila ternyata embel-embel identitas lainnya hanya membuat kita meniadakan cinta. Terimakasih Tuhan telah menciptakan luas bumi dengan segala keberagamannya. (The Journeys 3-Vabyo hal. 199)

Pulang Ke Pelukan Mama. Disini penulis menceritakan perjalanannya yang ingin membuat kejutan kepada mamanya yang tinggal di Singapura. Tapi karena penulis memiliki ‘bakat’ nyasar dan gaya tulisannya yang agak lucu membuat cerita yang sederhana dari berkunjung ke orang yang selama ini lama tak dijumpainya dan mengalami pemalakan oleh encim-encim :D. Tapi sesudahnya setelah bertemu sang mama,sebaliknya mereka saling bertukar cerita dan penulis kembali menertawakan kebodohannya selama di Singapura.

 

Dan semua orang memang benar. Tak ada pelukan yang sehangat pelukan mama. Tak ada pelukan yang seakrab pelukan mama. (The Journeys 3-Alexander Thian hal. 227)

Mari Mabuk Di Laut. Bagaimana caranya?mabuk disini diartikan penulis mengagumi dan menyayangi segala bentuk makhluk dan jenis biota lautnya tanpa harus memaksa memiliki dan merusaknya.
Penulis yang pandai menyelam ini juga cerdas dalam menuturkan isi laut yang pernah ia jumpai. Diceritakan dengan serius dan berwawasan.

Jika laut lestari,seperti apa adanya,kita bisa mabuk tanpa perlu menenggak alkohol. (The Journeys 3-Farid Gaban hal 257)

Kisah lainnya pun menginspirasi dan memberikan informasi yang sebelumnya kita tidak tahu. Misalnya asal muasal nama Wakatobi (Timur Nusantara:Perjalanan Pulang Ke Rumah),bahwa kebebasan (Berumahkan Kebebasan) itu bisa ditemukan dimanapun bahkan rumah yang selama ini tempat kita bernaung (Don’t You Miss Home,Though?) Akan selalu kita temukan dalam sebuah perjalanan apalagi bila dilakukan bersama dengan orang tersayang.

Perjalanan adalah sebuah bentuk ziarah yang hakiki kepada suatu rasa yang terletak jauh dalam diri kita dan sering terlupa:kebebasan. (The Journeys 3-Husni Mubarak Z. hal. 7)

Bagaimana mendefinisikan cinta? (Adakah Cinta Di India) yang kita inginkan,ada jenis kecintaan yang ditemui penulis merasa absurd saat berkunjung ke India. Atau kita diajak turut serta menyusuri dan mengenang kembali jejak seorang ayah dari penulis (Kisah Sushi Nomor Satu Di Dunia) yang pernah mengenalkan negeri Jepang dengan sushinya yang terkenal kepada anaknya.

Kegelisahan manusia akan masa depan sehingga melakukan pencarian akan kepastian memang sering menyebabkan masalah baru. (The Journeys 3-Alfred Pasifico hal. 166)

Lalu ada pula esensi sebuah perjalanan itu tidak perlu terburu-buru,santai saja (Slow Traveling In Sydney) tak perlu mengikuti jadwal dari penyelenggara traveling misalnya. Tapi penulis selalu membuat jadwal dadakan sendiri dengan caranya yang berbeda,misalnya mengajak ngobrol warga setempat maka dari sanalah biasanya menemukan tujuan selanjutnya dalam bertraveling.

Dalam hal buru-buru ini kita diminta sesekali untuk (Berhenti Sejenak) saat berjalan-jalan. Tak butuh waktu lama untuk sekadar menyapa penduduk lokal maupun bertukar cerita saat menunggu senja dengan orang yang kita jumpai. Sungguh waktu memang sangat berharga bagi manusia.

Ketika kita berhenti sejenak,waktu seakan berlalu lambat. Momen tidak hanya sekadar lewat,tetapi meninggalkan jejak. Wajah-wajah meninggalkan nama. Kata-kata meninggalkan makna. Setiap interaksi meninggalkan koneksi. Setiap kesan meninggalkan kenangan yang selalu bisa diputar ulang. Dan kita,kita tersimpan dalam banyak ingatan. Dan bukankah sebenarnya ini yang semua orang cari? (The Journeys 3-Hanny Kusumawati hal 279-280)

Cerita penulis lain yang selama ini hanya berasal satu darah dengan sang ayah (Kembali Ke Akar) dan merasa gak asyik dengan daerah yang dibawa oleh sang ibu,sebaliknya penulis merasa bangga setelah menginjakkan kakinya di kota Kediri,dengan berkereta api dan pada akhirnya memahami keberagaman asal muasal.

Cerita ditutup oleh kisah penulis yang (Menerjemahkan Bahagia) lagi-lagi dengan caranya yang unik. Tak perlu menuntut yang aneh-aneh ikuti saja alurnya. Tak perlu ngoyo dalam mengunjungi suatu tempat,menyimak sekitarnya sudah cukup dan akan menemukan kebahagiaan yang lain.

Menurut saya,cerita The Journeys 3: Yang Melangkah Dan Menemukan kali ini lebih beragam baik dari sisi jalan-jalannya,gaya penulisan dan tentunya pengalaman yang dituturkan masing-masing penulis dapat membuka mata kita dan sedikit membuka wawasan.

The Journeys

Grace Of Monaco

Posted on Updated on

Secara peribadi saya tidak tahu banyak tentang kerajaan Monaco. Kerajaan yang jarang disebut dibandingkan kerajaan seperti Inggris ataupun lainnya. Jadi,sayapun tanpa harapan apa-apa dalam menyaksikan film ini. Sebaliknya saya ingin tahu seluk beluk kerajaan yang jarang terdengar ini.

Grace Of Monaco

Grace Kelly (Nicole Kidman) diceritakan sebelumnya merupakan seorang aktris berbakat. Kemudian hidupnya berubah setelah menikah dengan Pangeran Rainer (Tim Roth) dari Monaco. Seperti biasa gambaran seorang putri yang berangkat dari kalangan orang biasa akan kesulitan beradaptasi dengan kehidupan istana.

Begitupun Grace,yang terlihat kurang bahagia setelah menikah. Kehidupan pribadinya kini tak lagi leluasa apalagi mencoba untuk berakting kembali.
Suatu waktu datanglah tawaran dari Alfred Hitchcock (Roger Ashton-Griffiths) kepada Grace agar bermain di film terbarunya. Hal ini membuat Grace bimbang karena sebenanrnya ia ingin dapat kembali berakting namun pihak istana nampaknya akan berpikir dan berkomentar macam-macam. Belum lagi media yang sudah membocorkan berita tersebut dan membuat istana gaduh.

Selain itu di waktu yang sama pangeran Rainer juga sedang mengatasi masalah politik yang menimpa Monaco dengan negara lain yakni Perancis. Menurut presiden Perancis saat itu Charles De Gaulle (André Penvern) menuntut Monaco untuk membayar pajak terhadap Perancis.

Beruntung Grace memiliki seorang frater sekaligus sahabat yakni Father Francis Tucker (Frank Langella) yang mampu berpikir jernih dalam bertukar pikiran dan tampak objektif. Darinya Grace dikenalkan kepada seorang teman yakni Count Fernando D’Aillieres (Derek Jacobi) yang akhirnya berjasa membentuk Grace menjadi seorang putri istana yang baik,menjadi istri pangeran yang terbuka wawasannya dan ibu yang mendahulukan cinta dan keluarga.

Maka,Grace akhirnya memutuskan untuk menolak tawaran bermain film. Ia lebih menitik beratkan perhatiannya kini pada penggalangan dana Palang Merah. Ia juga berhasil mengungkap sisi jahat dalam istana yang selama ini memiliki niat buruk terhadap suaminya.

Yang utama Grace turut serta memecahkan persoalan yang dialami suaminya terhadap presiden Perancis dengan caranya yang elegan. Sang pangeran semakin bahagia,rakyat Monacopun percaya pada pemimpinnya. Semua berakhir damai dan baik-baik saja.

Film ini dibuat kurang total,kisah hidup sang putri memang maksudnya dibuat seperti kisah dongeng tapi rasanya penonton kurang puas dengan hasilnya.
Akting Nicole tak dapat dipungkiri,menurut saya pas-pas saja memerankan Grace Kelly. Apalagi Tim Roth yang dalam filmnya tak banyak emosi dan akting yang terkuras.

“The idea of my life as a fairytale is itself a fairytale”

Tapi itulah cerita dongeng Grace Kelly menurut sutradara Olivier Dahan tak dapat dielak,sebuah biografi sejarah orang terkenal akan sulit untuk memulai dari mana kisahnya akan bermula. Film yang sederhana namun tak terlalu buruk.